Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling maka
akan ditemui tiga unsur utama yaitu konselor sebagai individu yang memberikan layanan
bimbingan dan konseling, konseli sebagai orang yang diberikan bimbingan dan konseling,
dan segala bentuk isi dan proses bimbingan dan konseling itu sendiri. Fokus bahasan
ini lebih pada unsur yang pertama yaitu konselor. Profesi yang diemban oleh
konselor tidaklah mudah, maka perlu menjadi konselor yang professional,
pemaknaan sebagai konselor harus menjadi sosok yang baik atau tidak sama
sekali. “Be a good counsellor or leave it all (jadilah konselor yang
baik atau tidak sama sekali)” ungkapan Kartadinata (Rahim, 2015).
Pernyataan ini bermakna tidak ada pilihan untuk menjadi konselor yang buruk,
maka menjadi konselor haruslah
benar-benar mampu melakukan tugasnya secara profesional, sebab hal ini tidak
hanya terkait dengan dampak pelayanan kepada pihak yang dilayani, namun juga terkait dengan
martabat sebagai konselor. Profesionalitas yang ditunjukkan perlu
memahami arti profesi sebenarnya yang benar-benar dipegang teguh bagi konselor
sebagai helping profession. Konselor
butuh keterampilan dan kompetensi dimiliki seperti yang diungkapkan oleh Gladding (2014) yaitu: (1) human grow and development; (2) social
and culture foundations, (3) helping
relationship; (4) groups; (5) lifestyle and career development; (6) appraisal; (7) research and evaluation; dan (8) professional orientation. Poin
1, 2, dan, 3 khususnya jika ditelaah secara mendalam maka syarat akan makna
hakiki dalam kajian filsafat
hidup manusia, filsafat sosial-budaya, dan filsafat pendidikan.
Jika
merujuk pada bimbingan dan konseling di sekolah maka Blocher (1974) menerangkan bahwa ada delapan filosofi yang dimodifikasi dari Beck dalam
bukunya Philosophical Foundations of
Guidance dapat dimaknai jika diterapkan dalam setting sekolah yaitu: (1) membantu siswa dalam bertanggungjawab
atas apa yang menjadi pilihan pada dirinya; (2) membantu siswa dalam memandang
dirinya jauh lebih dalam bahwa dia berharga dan memiliki nilai-nilai yang
memiliki arti bagi lingkungannya; (3) membantu peserta didik untuk dibimbing
dalam dunia yang nyata bahwa keberadaannya bukan dimasa lampau namun masa saat
ini yang akan menjadi (to be) apapun
yang diinginkan tergantung dia menyikapinya saat ini; (4) membantu memberi gambaran pada siswa bahwa hidupnya
bermakna, tidak ada yang tidak mungkin dengan memiliki fisik dan psikis yang
dimiliki; (5) setiap orang berbeda dari bawaan dan pengalaman hidup sehingga
jangan selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain; (6) membantu siswa
dalam bersikap yang mengarah pada tujuan nilai pribadi; (7) setiap anak dibantu
dalam bersikap sesuai dengan kondisi yang dialami agar memiliki nilai dalam
mengalaminya; dan (8) setiap anak dibantu
memahami keseluruhan total dirinya dalam menghadapi situasi apapun
(menggunakan seluruh atribut fisik dan psikologis). Pemaknaan
sebagai konselor, sangat jelas bahwa konselor dalam membantu individu perlu sebuah
pemaknaan terhadap siapa yang dibantu, apa yang hendak dibantu, mengapa harus
dibantu, dan bagaimana proses membantu. Maka hal ini menggambarkan bukanlah yang
instans terjadi begitu saja, namun konselor perlu memaknai keberadaannya bagi
konseli.
Filosofi yang didapatkan dan dikembangkan oleh
konselor sebagai individu yang mengemban helping
profession, jika merujuk filosofi developmental
counseling maka selaras dengan diterangkan oleh Gladding (2014) “perspective
to counseling is based on stages various personality theorists have outlined
that people go through as a normal part human growth” menandakan bahwa developmental
merupakan
telaah yang didasarkan
pada tahapan berbagai teori kepribadian yang telah diuraikan bahwa setiap orang
normal dalam perkembangannya sebagai manusia. Maka falsafah konselor tidak hanya sebatas
sekali jadi dalam menempuh studi keilmuan dan mengikuti profesi semata, namun
benar-benar sadar dan yakin terhadap profesi yang diemban untuk membantu
individu yang tetap berlandaskan kedinamisan dalam pelaksanaannya.
Pemaknaan
sebagai konselor harus berpegang pada filosofi yang jelas, namun dia harus tetap
menghindarkan diri dari faham “completism”
(suatu perasaan dan sikap memandang diri) “saya adalah seorang
konselor, bersertifikat dan terdidik, sekali jadi, untuk segalanya, cara lain
salah kecuali cara pandang saya”. (Kartidanta,2011; Rahim, 2015) Konselor pendidik,
konselor reflektif, pebelajar sepanjang hayat (lifelong learner) yang selalu belajar dari pengalaman dan
konselinya, pemikiran para pakar dan hasil penelitian yang akan membentuk wolrd view sendiri. Tidak ada teknik
yang akan menjadi resep bagi konselor dalam melayani setiap konseli.
Keefektifan bimbingan dan konseling bukanlah fungsi dari teknik. Hubungan
konselor dengan konseli yang dibangun konselor melalui teknik bimbingan dan
konseling pada hakikatnya merupakan konsekuensi dari “siapa” konselor itu. Ini
berarti bahwa metode dan teknik itu bersifat individual, tidak bisa
digeneralisasi bagi yang lain, melainkan bermakna bagi individu dalam
keunikannya.
Referensi
Blocher, Donald H. (1974). 2nd Edition. Developmental Counseling. New York: John
Willey & Sons.
Gladding, Samuel, T. (2014). 7th Edition. Counseling A Comprehensive Profession.
London: Pearson Education Limited.
Kartadinata, S.
(2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis (Kiat
Mendidik sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor). Bandung: UPI
Press.
Rahim, M. (2015).
Kreativitas Guru Bimbingan dan
Konseling/Konselor (Solusi Permasalahan Pelayanan
Bimbingan dan Konseling di Sekolah). Makalah Seminar Internasional FIP-JIP 2015 di
Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.